Selasa, 11 Maret 2008

Entah untuk yang kesekian kalinya Via menghembuskan napas panjang seraya menopang dagu pada kedua tangan. Tak tahu apa yang membuatnya segelisah ini, namun Via merasa, ada sesuatu yang mengganjal dada, sesak dan kian menghimpit jiwa. Namun ia sadar dan tahu sekali apa yang membuatnya begitu, mengingat wajah-wajah yang hampir tak pernah menghampiri kehidupannya lagi kini hadir dalam lamunannya, memaksa otaknya memutar segala kenangan lalu yang sekarang bagaikan film dokumenter yang membuatnya selalu tersenyum.Aku rindu mereka… batin Via sesak. Hilda, Aisya, dan Cerry. Semua kenangan yang membuat hidupnya lebih berarti. Segala canda tawa yang dulu akrab dengan dirinya. Via rindu semua itu. Andai ia bisa mengulang waktu, ia akan mengembalikan saat-saat ia SMP dulu, dan membiarkan waktu berhenti pada saat itu untuk selamanya. Tapi ia tahu itu hanya khayalan semata. Sekarang semua sahabatnya tenggelam dalam kesibukan masing-masing, dunia masing-masing.Bangkit dari meja belajarnya, Via menyeret langkah dengan malas menuju komputer kesayangnya, tempat ia bisa curahkan segala yang ia rasakan dalam bentuk tulisan di atas layar. Kini ia berhadapan dengan komputernya. Entah kenapa beban yang kian menghimpit sirna perlahan seiring jarinya yang menari lincah diatas keyboard.Kenapa aku tak menulis kisahku saja? Sebuah kisah yang kupersembahkan hanya untuk mereka, mutiara terindah yang mengisi hidupku. Seuntai Simphony Untukmu Sahabat.
* * *
Saat itu putih biru melekat manis di tubuhnya. Sehelai jilbab putih membalut kepala bulatnya, berhubung saat itu Via ingin sekali memakainya. Sesosok remaja yang selalu ingin tahu dengan keadaan sekitar dan ceria serta ramah pada siapa saja selalu mengiringi profilnya.Via sangat terkenal tidak pernah mencari musuh. Namun terkadang sikap tegas yang ia punya membuat sebagian orang segan dengannya. Tapi Via tak pernah bermaksud membuat orang mengira ia sosok yang patut disegani. Ia hanya berbuat sesuatu yang menurutnya itu benar dan memperjuangkannya sampai batas akhir.Satu pagi yang cerah. Burung berkicau merdu dan jangkrik bersenandung riang. Awan putih yang bergerombol pun tak tampak menghalangi keperkasaan matahari yang bersinar cerah. Suasana yang lama Via rindukan. Entah kenapa hari-harinya akhir-akhir ini selalu muram dan tak bersemangat. Mungkin karena dua murid yang keberadaannya sangat mengusik hati.Hilda dan Cherry. Entah mengapa, mereka sangat menyebalkan. Via tak tahu mengapa ia berpikiran seperti itu, padahal sedikitnya ia berusaha untuk selalu berpikiran positif pada siapa saja. Mungkin karena mereka selalu berjalan dengan muka menengadah yang memberikan kesan pongah, diikuti dengan sikap jelek yang selalu melabrak adik kelas yang semakin menguatkan rasa ketidaksukaan Via terhadap mereka. Ditambah lagi, mereka satu kelas. Kalau sudah begitu, Via hanya mengusap dada tatkala terkadang mereka membuat ulah.“Sya, mereka nyebelin banget, ya!” ujar Via sembari menghela napas ketika suatu hari Hilda dan Cherry berbincang dengan suara keras dan tawa yang melengking, membuyarkan konsentrasi murid sekelas yang sedang mengerjakan tugas matematika. Tampak Via sudah menyimpan gondok yang menumpuk selama ini.“Tau tuh. Nyebelin banget! Gwe gak tahan deh, Vi sekelas sama mereka itu. Gwe pengen pindah kelas!” Aisya yang paling sabar se-dunia pun, tampak tak bisa menahan gejolak emosi yang meletup di tiap persendian tulangnya.“Sebenernya sih gwe gak terlalu pusingin mereka banget. Pada awalnya sih gitu. Tapi entah kenapa cara bicara mereka kok nggak enak didenger, ya?” kata Via, sementara dagunya bertumpu pada kedua tangan. Semangat berkobar untuk mengerjakan latihan matematika menguap begitu saja lantaran konsentrasinya buyar.“Tau, tuh… Anak baru itu ke-pedean banget sih! Baru kelas satu, roknya udah selutut. Mana agak naek, lagi…” ucap Hilda sementara Aisya tampak menggumamkan sesuatu seperti “nggak nyadar diri” di sudut mulutnya. “Gwe labrak aja! Hohoho…”“Gila lo, jahat banget sih sama kelas satu baru…” kata Cherry dengan suara keprihatinan yang dibuat-buat –yang bagi Via saat itu terdengar seperti suara bebek kejepit-. “dia kan masih nggak tahu apa-apa, Hil. Hehe..”“Alaa..sok suci lo! Belom tau Hilda, dia!” kata Hilda sembari mencibirkan bibir yang menurut Via dalam keadaan biasa saja sudah monyong. Apalagi kalo dimajukan lagi!Astaghfirullah…Tampaknya hati gwe kian membusuk ni kalo gwe mikirin si jelek itu! Ntar gwe tambah dosa, lagi. Huff..Nyebut… Vi… Nyebut…Batinnya pada diri sebelum suara pintu yang berdecit mengagetkan hampir seluruh murid di kelas. Gadis muda berpenampilan intelek memasuki ruangan dengan anggun seiring dengan ketukan sepatu haknya yang berirama. Rasa kaget dan bingung menyelimuti kami –lantaran bukan Pak Sholeh yang masuk (guru matematika yang sebenarnya )- sebelum akhirnya ia berkata.“Assalamualaikum anak-anak…” koor ‘waalaikum salam terdengar kompak setelahnya. “Hari ini saya bertugas menggantikan Pak Sholeh, karena kesehatan beliau akhir-akhir ini memburuk. Jadi beliau diharuskan istirahat dulu selama 3 minggu. Nama saya Fatimah. Kalian bisa memanggil saya Ibu Ima. Salam kenal anak-anak.”Yang dikira Via beliau akan bercerita tentang latar belakang hidupnya, atau apa saja tentang tata krama berkenalan sebelum memulai pelajaran, ternyata tidak. Beliau langsung memulai pertemuan pertama dengan rumus matematika yang se-abrek. Kalau cara mengajar beliau lebih enak daripada Pak sholeh, Via ingin memperhatikan walau sedikit saja –berhubung ia bego matematika-. Tapi boro-boro! Pengaruhnya lebih kuat daripada lagu nina bobo!“Gila…Ni guru nge-bosenin banget!” bisik Aisya tepat di telinga kanan Via.”Mending Pak Sholeh kemana-mana, deh! Gwe jadi ngantuk..”Waktu seaakan berjalan dua kali lipat lebih lambat. Dengkur halus mulai terdengar dimana-mana. Namun Via menjaga agar matanya tetap terjaga, sebab ia tau persis guru itu tengah berjuang demi mendapat perhatian murid. Aku tak boleh meremehkannya, batin Via.“Gilaa…Gwe ngantuk banget!” kata Cherry tiba-tiba dengan nada tingi agak dibuat-buat dan dirancang dengan sedemikian rupa agar orang mendengar. “Mendingan gwe tidur, deh!”Via menangkap getar dari nada suara Bu Ima sekarang, namun tetap berusaha tenang dan melanjutkan pelajaran, walau kini keringat dingin mengalir perlahan di pelipis. “Lebih enak Pak Sholeh kemana-mana, ya. Jadi kangen sama Pak Sholeh…” tambah Hilda sebelum menguap lebar dengan suara super keras.Tu orang maunya apa, sih? Hardik Via dalam hati. Ia tahu persis sekarang Bu Ima tak konsen lagi dengan pelajaran yang ia lontarkan. Sekarang kalimatnya diselingi dengan kata “Ng…” atau “Eh…” yang tak perlu.Suara mereka berdua semakin menjadi dan membuat telinga terbakar. Malah pada akhirnya mereka terang-terangan main kartu diselingi dengan tawa yang melengking. Berusaha menahan luapan amarah, sebelum akhirnya Via tak bisa menguasai emosi yang meletup-letup, seraya meraung.“Heh!! Lo berdua sangka sekolah cuma punya kalian doang!!? Jangan seenaknya dong sama orang!!! Khususnya buat Cherry ya.. Jangan mentang-mentang orang tua lo penyumbang tergede satu sekolaan, trus lo jadi ngelunjak gini!!”Terdengar bunyi brak keras sebelum suara menggelegar kembali terdengar. “Emang kenapa hah?? Gak usah bawa-bawa orang tua gwe deh! Kalo guru itu emang gak bisa ngajar, salah sendiri!” jerit Cherry dengan suara yang tak kalah keras.“Lo tu musti dihajar, ya…” kata Via tak sabar, menghampiri meja mereka berdua yang sedikit tampak ketakutan, mengabaikan “sudah…sudah…”-nya Aisya, dan menggebrak meja keras-keras. “ULAH LO TU DAH BIKIN SATU SEKOLAHAN SUSAH TAU GAK!!?”“DIAM!!” raung Bu Ima tiba-tiba dengan air mata yang bercucuran sebelum ia meninggalkan kelas dengan nelangsa. Mati, gwe! Coba gwe bisa nahan emosi dikit aja..batin Via menyesal.“Inget ya!” ancam Via seraya mengacungkan jari telunjuk tepat di depan mata Cherry dan Hilda. “Urusan kita belum selesai.”
* * *
Semenjak kejadian itu, pelajaran matematika terbiarkan kosong selama beberapa hari. Tak ada Bu Ima, tak ada guru pengganti. Via tak tahu berapa lama ia tertinggal pelajaran dibanding kelas yang lain. Ini gara-gara mereka berdua! Semenjak itu juga ia sering bertengkar dengan mereka berdua. Mereka jadi sering adu mulut, sinis-sinisan kalau ketemu. Huuh! Sebal! Padahal aku nggak pingin punya musuh! Batin Via kesal.Sebuah suara lantang dan jelas menyentakkan lamunan Via sesaat, sebelum menyadari bahwa sang suara tengah menyebut namanya. “Yang bernama Silvia Alamanda, Cherry Angelina, Aisya Nur Amalia, dan Hilda, harap menghadap ke ruang kepala sekolah sekarang juga!”Via bersedia menghadap guru manapun atau kepala sekolah manapun asal jangan kepala sekolah SMP mereka sendiri. Apalagi sama Cherry dan Hilda jelek itu! Tapi apa yang bisa Via perbuat selain melangkah melas-malasan menuju “Ruang Penyiksaan”. Saat ini ia bersyukur karena ada Aisya yang menemaninya.“Ngapain juga sih gwe dipanggil bareng loe!” ujar Cherry sinis. Harusnya gwe yang bilang begitu! Batin Via kesal. IA sedang malas berdebat. Sama halnya dengan Aisya. Ia memilih diam dan mengira-ngira apa yang hendak dibicarakan bapak Kepala Sekolah. Namun tatapan elang yang mereka berdua lontarkan sebelum masuk ruang Kepsek cukup menggambarkan kebencian yang amat sangat. Semoga mereka sadar diri, batin Via kesal.Hawa dingin menyambut begitu pintu kayu ek itu terbuka perlahan. Aroma lemon yang menerjang penciuman langsung Via kenali sebagai pengharum ruangan ber-AC. Di sebelah lemari kaca besar, Via mendapati seorang laki-laki paruh baya sedang duduk. Tampak ia sedang berpikir sesuatu, sebelum menyadari empat gadis yang tadi dipanggilnya tengah hadir di ruangan.“Oh, kalian sudah datang. Ayo ke sini…”Takut-takut kami menghampiri bapak kepala sekolah. “Ada apa Pak memanggil kami?”“Ada apa? Kalian pikir ada apa? Gara-gara kalian pihak sekolah sudah kehilangan guru yang berharga. Guru penganti yang susah didapat. Kalian pikir gampang apa dapet guru?” Tu, kan… Mulai deh, kata-katanya pedes.“Kalian juga kan yang akhir-akhir ini membuat keributan? Berantem terus kayak kucing dan anjing. Kalian berempat harus dihukum”“Tapi, pak… Semua salah Cherry dan Hilda, kenapa saya dan Aisya juga..?”“DIAM!” potong Pak Kepsek dengan suara yang berbahaya. “Yang saya tahu kalian telah membuat keributan. Kalian diskrors!”“APA, PAK!? KAMI NGGAK TERIMA!!!” jerit Cherry yang sudah seperti kambing mau disembelih. “Nanti pelajaran kami gimana, pak??”“Jadi kalian nggak mau diskors?” katanya pelan, disusul dengan anggukan penuh harapan mereka berempat. Namun Via merasa ada yang tak beres dengan nada suaranya. “Baik. Kalian ikuti apa perintah Bapak…”
* * *
Matahari siang itu amat membakar kulit. Apalagi siang itu angin tak menampakkan tanda-tanda kemunculannya. Keringat mengucur deras, kuyup mengguyur tubuh. Kalau itu saja cobaan siang itu, mungkin Via masih bisa tahan. Tapi, siapa sih yang mau malu berdiri di tengah lapangan yang langsung disiram cahaya matahari menyengat, sementara tangan harus memberi hormat pada bendera ilusi yang seolah terpasang di tiang bendera. Ditambah dengan siul jahil tiap orang yang lewat, Via bersedia membayar dengan apapun supaya hari ini tak terulang lagi untuk yang kedua kalinya. Satu faktor lagi yang membuat ia ingin lari jauh-jauh dari situ. Tulisan “KAMI ORANG YANG CINTA TANAH AIR” tergantung manis di leher mereka berempat.“Gila, gwe malu banget, Sya!” bisik Via pada Aisya tampak pegal karena kurang lebih satu jam “hormat” pada bendera.“Gwe juga malu!!” kata Aisya dengan suara bergetar. “Semua gara-gara lo berdua!! Ngapain sih lo berdua terus berulah?? Kan kalo lo berdua hormatin orang dikiit aja, semua nggak bakalan kayak gini!!” raungnya lagi.“Heh, lo kira gwe juga mau kayak gini??” jerit Cherry dengan suara yang berhasil mengundang kerumunan. Kini murid-murid mencari tahu, ada keributan apa sebenarnya.“Gara-gara elo!!!”“ELOOOO!”“Nggak! Elooo!!!!”“UDAAAAAAAHHH!” jerit Hilda yang sedari tadi diam menahan emosi. “Lo sadar nggak sih posisi kita? Kita sekarang dihukum emang karena salah. Makanya sadar posisi masing-masing.”Hilda menarik napas sejenak dan berjalan menghampiri Aisya dan Via yang bergetar hebat. “Maafin gwe, ya, kalo gwe punya salah… Gwe nggak mau punya musuh…”Melongo sesaat, sebelum akhirnya Via sadar kini tangan Hilda tersodor penuh ketulusan. Ragu-ragu, Akhirnya Via membalas tangannya. “Iya, gwe juga minta maaf…”“Gwe juga minta maaf, ya Hil…” ujar Aisya sambil terisak.“Huaaaa…Maafin gwe, ya! Gwe juga sebenernya mau minta maaf sama kalian. Tapi gwe terlalu gengsi untuk menyadari kesalahan sendiri. Maaf, ya…” kata Cherry sesenggukan, seraya menghambur ke pelukan Via dan Aisya. Hilda memeluk mereka dari belakang.Tak ada hari yang lebih indah melebihi hari ini. Riuh rendah murid yang bertepuk tangan melihat akhirnya kami berbaikan berbaur dengan angin semilir yang –akhirnya- bertiup, menciptakan harmoni yang indah.Dan tak ada yang lebih indah melebihi keindahan untuk saling memaafkan..* * *
Via berhenti sejenak dan menarik otot-ototnya yang mulai tegang. Ia menatap perlahan ke komputernya, seraya berdecak tak percaya, bahwa ia bisa menyelesaikan ceritanya secepat ini. Senyum kecil terkulum di bibirnya. Senyum penuh kerinduan.Semenjak saat itu, mereka selalu dijuluki empat sekawan yang selalu bersama kemana saja. Hilda dan Cherry juga telah merubah sikapnya dan mulai disukai siapa saja. Kami berempat selalu mengingatkan kalau jalan yang kami lalui mulai menyimpang. Saat itu, kami merajut tali persahabatan yang seolah tak ada batasnya.Tanpa sadar air mata Via meleleh. Ia terisak hebat begitu menyadari bahwa ia tak bisa membendung luapan rindu yang kian membuncah. Begitu masuk SMA, mereka berempat seolah terpisah ruang dan waktu. Tak bisa lagi menikmati hari bersama. Hari, hanya mereka yangg tahu.Detang jam dua belas kali menyadarkan Via dari tangisnya. Nggak terasa sudah jam dua belas malam. Astaghfirullah… Sekarang kan hari ulang tahunku..! Kok aku bisa lupa, sih..Dering poliphonic terdengar di kejauhan. Du, siapa sih yang ngirim sms malem-malem, batin Via seraya menyeret langkah menuju ponsel yang terletak tak jauh darinya.Three sms received. Siapa, ya? Tanya Via dalam hati.“Via sayaaang…Happy Birthday ya! Semoga di umur yang ke-16 ini, Via tambah cantik, tambah manis, tambah sholeh, tambah segalanya yang baik-baik deh! Wish God love you, say! –Aisya. Ps: Kangen banget sama elo, nih!”Ya ampunn…Aisya! Gwe juga kangen sama lo! Batin Via terharu seraya tak sabar untuk membuka sms yang dua lagi. Ucapan selamat ulang tahun dan luapan kangen terpampang jelas di layar ponsel. Dari Cherry dan Hilda.Makasih, ya say… Kalian memang yang terbaik yang diberikan Tuhan buat gwe. Gwe sayang kalian..Batin Via lagi sembari meneteskan air mata haru. Menaruh ponselnya, Via berjalan perlahan ke depan komputernya dan mulai membaca kata demi kata yang tadi ia ketik.Via tersenyum bahagia seraya mengetik lagi dengan penuh semangat di sudut kiri bawah halaman.“Untuk sahabatku… Cherry, Hilda, dan Aisya. Kalian mutiara terindah yang pernah aku punya. Mungkin yang aku tulis di atas kertas ini nggak seberapa dibanding kisah yang selama ini kita lalui. Tapi, aku mempersembahkan karyaku ini untuk kalian..Seuntai simphoni hanya untukmu…. Sahabat…
* * *

Tidak ada komentar: