Senin, 10 Maret 2008

Berselimut Penderitaan
Oleh : Ahmad Irhamni*
Matahari baru saja condong ke barat saat usiaku tepat dua puluh tujuh tahun. Aku bahagia bukan karena hari ini adalah hari ulang tahunku. Tetapi, ada tamu yang segera datang siang ini.
Gaun terusan berwana merah yang dipadu dengan jilbab berwarna senada membungkus rapat-rapat tubuhku. Motif bunga mawar yang dirajut di atas kain satin menyelipkan nuansa feminim pada diriku. Ditambah lagi, hiasan kupu-kupu yang disemat di jilbabku turut menyumbangkan kesan serupa. Kata ibuku, hari ini aku terlihat lebih muda dari usiaku yang sebenarnya.
Tiba-tiba aku merasa gelisah. Jam digital pada ponselku sudah tertulis 01:14 p.m., tetapi Marwan belum juga datang. Sudah seperempat jam aku menunggu calon suamiku itu. Dari kamar aku pergi ke ruang tamu sembari menanti bunyi ponsel. Aku tidak menelpon Marwan bukan karena tidak berpulsa. Tetapi, aku tidak ingin menjadi wanita yang terlihat agresif.
Ditemani sebuah ponsel berdesain candybar, aku mengarungi samudera penantian yang tak bertepi. Untuk mengurangi rasa rindu, aku melihat-lihat photonya Marwan melalui fitur photo phone book. Karena layar berjenis TFT, aku seperti sedang membuka-buka album photo.
Baru sepuluh menit aku memegang ponsel. Tetapi, aku sudah bosan. Aku tetap merasa melihat Marwan, meski mataku menyaksikan layar yang berkedalaman 262.144 warna.
Sudah satu menit aku tidak menyentuh layar ataupun tombol pada ponsel itu. Dengan sendirinya, layar menampilkan gambar perahu yang dipermainkan ombak. Melihat secren server seperti itu, aku merasa sedang bercermin. Aku tidak ingin bernasib seperti perahu itu. Tidak ada yang mengundang, rasa gelisah bertamu dalam hatiku. Entah mengapa, empat sudut mataku sembab.
Satu jam berlalu, Marwan belum juga menelpon. Segera, kebahagiaan yang terbit sedari pagi tenggelam mendahului terbenamnya matahari senja nanti. Sesaat kemudian, kabut kegelisahan menyelimuti kehidupanku. Kumasukan ponsel ke dalam tas kecil merahku. Kulempar tas itu ke atas meja yang tak jauh dari sisiku. Oo, sengajakah aku terlahir untuk tidak mencicipi setetes kebagahagiaan pun. Aku teringat masa kecilku yang penuh penderiataan. Setelah itu, aku terbang pada belasan tahun yang lalu. Dari bola mataku, kulihat ibuku beranjak ke kamarnya dengan lunglai. Ia paham atas kegelisahanku.
Dua puluh tujuh tahun yang lalu, aku dilahirkan tanpa ayah. Ibuku melahirkanku beberapa bulan setelah kepulangannya dari negeri Saudi. Untuk mengenang majikannya, yang membawanya menikmati cinta tak ber-akad, ia menamaiku Wardah. Nama lengkapku Wardah Fahsinah. Tetapi, banyak orang memanggilku Mawar.
Aku terkucilkan pergaulan, ibuku apalagi. Rasa sepi dan rendah diri menemaniku sejak kecil. Rasa tersisih turut menemani ibuku dalam membesarkanku. Masih dalam kandungan, aku sudah berkubang dalam hinaan. Ketika terlahir, aku dilumuri cacian. Sebagian cacian dan hinaan itu, masih melekat kuat dalam ingatanku.
"Asal garam dari laut, anak haram maut", senandung Lala suatu saat, ketika ia tidak aku pinjami mainan.
"Tiada garam di air tawar, tetapi ada anak haram bernama Mawar", lagunya Lala yang terdengar menggaung di telingaku.
Selain Lala, banyak temanku yang lain mengguyurku dengan kata-kata pemerah muka. Apa yang aku ingat tidak lebih banyak dari apa yang aku lupakan. Masa kecilku dipenuhi dengan hinaan dan cacian. Aku seperti menyesal dilahirkan dari rahim ibuku.
Sejak bayi sampai perawan tua, aku selalu menderita seperti ini. Menginjak dewasa, ada empat lelaki yang membatalkan lamarannya setelah mengetahui keadaanku. Oo Tuhan, Apakah aku yang harus menanggung karmaMu. Aku berharap Marwan tidak menjadi orang yang ke lima. Meskipun, ia membatalkan kunjungannya hari ini.
" Sholatullah…Sallamullah…", nada dering MP3 dari ponsel yang memudarkan lamunanku.
Marwankah? Aku ragu, tak yakin kalau ia masih mau datang. Seharusnya, ia menepati janjinya satu jam yang lalu.
Ponselku berhenti ber-sholawat setelah aku menekan kepala kupu-kupu pada jilbab. Sebab, selain sebagai hiasan, kupu-kupu itu berfungsi sebagai piranti koneksi nir kabel yang berteknologi wireless. Aku bisa menerima telepon hanya dengan menekan kupu-kupu itu.
"Assalamu’alaikum. Mawar, Aku sudah sampai di Banguntapan. Ban mobilku bocor. Dari tadi aku sulit menghubungimu. Mawar kamu marah?" suara Marwan yang jujur menghiba di ponselku.
Setelah hari itu, tenggelamnya matahari terasa lebih cepat dari biasanya. Angin kebahagiaan selalu berhembus lirih bersama hari-hariku. Akhirnya, wali hakim menikahkan aku dengan Marwan.
* Penulis adalah mahsiswa pendidikan matematika asal Bantul.

Tidak ada komentar: